New Maishaffhan

“Mbah Nyong” Lebak Mantan, Jangan di “Mesujikan”

oleh Gus Hafidh Skpm pada 27 Desember 2011 pukul 15:51

Laporan singkat ini berawal dari kegiatan Yayasan SPMAA (Sumber Pendidikan Mental Agama Allah) yang berada di Kalimantan Timur. Yayasan SPMAA adalah sebuah gerakan amal pendidikan dan kepedulian sosial yang didirikan oleh Bapak Guru Moh.Abdullah Muchtar sejak tahun 1961 di Desa Turi Kec.Turi Kab.Lamongan Jawa Timur. Konsentrasi program berkhidmat pada tiga gerakan amal : Pendidikan dan Pondok Pesantren, Kesejahteraan Sosial, dan Lingkungan Hidup.

Dalam upaya menjaga agar tetap berjalannya sistem program Yayasan SPMAA, aspek “monev” atau monitoring dan evaluasi secara berkala dilakukan secara konsisten. Monev dilakukan baik berdasarkan timeline program maupun atas permintaan asistensi dari manajemen tehnis program di lapangan. Adalah berawal dari Ibu Sumartini seorang TPU (tenaga penyayang ummat) Yayasan SPMAA yang berada disebuah desa di Kalimantan Timur. Tepatnya Ibu Sumartini yang lebih akrab dipanggil “Mbak Marti” ini, tinggal di Dusun Bukit Makmur Blok C Rt.3 Desa Kota Bangun Kec.Kota Bangun Kab.Kutai Kertanegara (Kukar) Kalimantan Timur.

Sebagai TPU, maka karakter yang dijalani adalah kesetiaan sebagai PGA (pegawai gaji akhirat). Begitu juga “Mbak Marti” sebagai satu diantara TPU di Kaltim ini. Untuk membiayai hidup dan aktifitasnya adalah melalui bertani dan sekarang ditambah menjual jasa juru ketik skripsi. Saat kesibukan sebagai TPU yang memiliki Taman Kanan-Kanak gratis sejak tahun 2008 ini, sedikit masalah dilaporkan ke SPMAA untuk mendapatkan bantuan. Masalah itu berkait dengan tanah ladang miliknya yang selama ini dipakai sebagai usaha kehidupan bertaninya, tiba-tiba terancam kehilangan hak. Atas laporan itu, pada tanggal 21-24 Desember 2011, saya Gus Hafidh mendapatkan tugas melakukan monev itu.

“Mbah Nyong” Lebak Mantan
Keterancaman hak milik tanah ladang yang sekarang beralih fungsi jadi kebun sawit ini bermula sejak tujuh tahun lalu atau tahun 2005. Dimana saat itu sebuah perusahaan kebun kelapa sawit “JMS GAHARU” bekerjsama dengan pemerintahan desa dan “Koperasi Keham Lestari”. Ternyata keterancaman hak milik atau hak penghasilan produksi atas tanah hak milik yang telah bersertifikat ini, tidak hanya dialami oleh Mbak Marti, namun juga tejadi pada sekitar 102 KK.

Tanah hak milik yang sekarang menjadi kebun sawit ini terletak di Desa Lebak Mantan Kec.Kota Bangun Kab.Kutai Kertanegara Kaltim. Satu diantara warga yang terkenal melakukan perlawanan atas ketidakadilan ini adalah “Mbah Nyong”. Sebuah panggilan yang akrab bagi si nenek tua yang bernama KTP : Ipon usia 65 tahun. Memang warga desa dan si nenek ini kalau memanggilkan dirinya juga menggunakan panggilan “Mbah Nyong”. Meski tampilan raut mukanya melebihi 65 tahun, atau bahkan terlihat lebih tua dari sekedar 75 tahun, namun kesehatan serta energiknya bergerak, sungguh menggembirakan. Karena gesitnya berjalan dan berbicaranya yang lantang, membuat lawan bicara tersemangati.

Mbah Nyong yang berada seorang diri dan hanya ditemani satu cucu laki-laki berusia sekitar 6 tahun ini, cukup agresif dalam melakukan perlawanan kepada perusahaan “JMS GAHARU” atau petugas desa dan koperasi. Hal ini terbukti, dari beberapa tanah kebun sawit milik warga yang sekarang sudah berproduksi dan dikuasai oleh “JMS G,AHARU” ini, Mbah Nyong melakukan perlawanan untuk tidak boleh dipanen. Sehingga nyaris kebun sawit yang berada di tanah hak miliknya itu, masih tetap utuh belum dipanen, meski pada lahan warga yang lain sudah dipanen oleh perusahaan sejak tiga tahun berjalan atau sejak 2008.

Konflik Warga Dengan “JMS GAHARU”
Meski masih terlihat adem ayem jika kita memasuki Desa Lebak Mantan Kec.Kota Bangun Kab.Kutai Kertanegara Kaltim ini, namun jika beralih dialog seputar kebun sawit yang berada di lahannya, maka langsung terpaparkan dengan tegas dan lugas oleh warga, sebuah potensi “api dalam sekam”. Mayoritas warga yang tanahnya sekarang menjadi lokasi produksi kebun sawit ini, suara-suara spontan yang menggiriskan namun juga menyayat. Dimana warga Desa Lebak Mantan Kec.Kota Bangun Kab.Kutai Kertanegara Kaltim yang berasal dari transmigran tahun 1995 ini, cukup memprihatinkan. Diantara beberapa potensi konflik yang harus segera mendapatkan solusi adalah :

1. Para warga ini sebagaimana haknya sebagai transmigran mandiri sebagaimana umumnya, adalah mendapat jatah tanah dari pemerintah sebanyak 2 ha. Namun faktanya mulai tahun 1995 hingga sekarang Desember 2011 ini, hanya 1 (satu) ha yang diserahkan sertifikatnya. Sementara 1 (satu) ha sekarang menajdi lahan kebun sawit produksi dikuasai penuh oleh perusahaan, dan warga yang sudah bertransmigrasi serta yang seharusnya pemilik hak resmi, tidak tahu sama sekali nasib tanah dan hasilnya itu.

2. Sudah tinggal 1 (satu) ha yang sekarang menjadi hak milik warga dari 2 (dua) ha diatas, dan yang 1 (satu) ha ditidakjelaskan statusnya itu, lebih menyayat lagi, satu ha, yang tinggal menjadi satu-satunya hak milik warga ini akan dirampas lagi. Betapa tidak menyayat dan tragis ? Dari tanah kelahirannya ingin memperbaiki nasib dengan ikut transmigrasi didaerah yang baru sama sekali, dan kondisi alam sosial yang hanya flora fauna, setelah 16 tahun mulai ada kehidupan sosial, haknya tak kunjung menjadi kenyataan. Sekilas info bahwa kondisi transmigran bersangkutan, sebagian juga masih menempati rumah ukuran 3x4 ditengah padang ilalang dengan atap seng dan sistem sanitasi ala akadarnya. Sungguh, saat seperti itu, dengan berlinang air mata menyaksikan tanahnya membuahkan kebun sawit yang berproduksi berjuta, namun dia sebagai pemilik tanah yang sah, hanya bisa menonton dan tidak berdaya melihat kondisi itu dinikmati oleh pemilik modal dan mitra kepanjangan tangan pemilik modal. Indonesia Desember 2011.

3. Informasi yang kami dapatkan dari silaturrahim dengan Kepala Desa Lebak Mantan, Bapak Satibi Yusuf menyatakan bahwa :
3.1. Para warga diberikan dua opsi : Jika mau menyerahkan sertifikat tanahnya, maka dia akan mendapatkan bagian 20% dari hasil kebun sawitnya. Setelah 10 tahun maka 100% kebun dan hasil panen sawit itu menjadi hak milik, pemilik tanah. Selama 10 tahun itu adalah 80% dimiliki oleh PT. Perkebunan sawit “JMS GAHARU” bekerjsama dengan pemerintahan desa dan “Koperasi Keham Lestari”, dan 20% diberikan kepada pemilik tanah.

3.2. Jika warga tidak mau menyerahkan sertifikat, maka hanya mendapatkan 20% dari hasil kebun sawit itu selama sawit produksi sekitar 30 tahun.

3.3. Saat kami minta format perjanjian, kami mendapatkan copy surat “Berita Acara Serah Terima” sebagaimana copy terlampir. Selain “Berita Acara Serah Terima” tersebut, maka warga tidak mendapatkan dokumen apapun, dus sertfikat sudah tidak ditangan. Dan isi “Berita Acara Serah Terima” itu tidak menyebut hak dan kewajiban warga atas perjanjian pengelolaan kebun sawit itu, namun hanya seputar serah terima sertifikat tanah dari warga kepada koperasi.

4. Dari kondisi diatas, maka posisi warga sangat rentan atas hilangnya sertifikat bukti kepemilikan tanah, dan hak pembagian produksi sawitnya. Karena dalam penentuan % (persentase), warga tidak dilibatkan langsung dan hanya diwakili koperasi. Sementara ikatan koperasi dengan warga tidak ada kejelasan apapun. Begitu juga kelanjutan sertifikat, dalam klausul berita acara tidak ada kapan pengembalian sertifikat itu kepada warga.

5. Pengalaman tanah lahan 1 (satu) yang sampai sekarang tidak kunjung diserahkan sertifikat hak miliknya padahal sudah 16 tahun, dan bahkan penggunaannya juga dikuasai perusahaan kebun sawit 100% dan tidak ada kejelasan, maka peristiwa penyerahan sertfikat lahan dua yang sekarang ada ditangan warga inipun, sangat riskan akan penghilangan sertifikat dan sekaligus tidak dimilikinya bukti warga akan hak atas tanahnya.

6. Kondisi warga saat ini karena kegetolan pemerintah desa dan koperasi yang lebih pro keperusahaan, maka sebagian sudah menyerahkan sertifikatnya, dan sebagian masih bertahan tidak mau menyerahkan sertifikatnya. Meski yang sudah menyerahkan sertifikatnya atau yang belum, selama panen sawit yang sudah berjalan 3 tahun atau sejak 2008 ini, warga hanya mendapatkan satu kali pembagian uang sebesar Rp. 58.000,- (lima puluh delapan ribu rupiah). Padahal pengamatan penulis dilokasi, kondisi buah sawit dalam kondisi standar prima panen. Sudah tidak panen pasir (sebuah sebutan panen pemula). Namun sudah panen standar normal. Rata-rata panen 1 (satu) ton/2 (dua) minggu/ha dengan rata-rata harga Rp.700,--Rp.900,-/kg.

7. Dari investigasi bersahaja yang kaya fakta silaturrahim yang tulus, maka kondisi warga sungguh sangat rentan adanya konflik horisontal. Kondisi tragedi di “Mesuji” Lampung sangat mudah bisa terjadi. Hal ini karena ungkapan mereka dengan pernyataan lugas kepada saya secara spontan beberapa diantaranya :
7.1. “Dari pada kami menyerahkan sertifikat kepada koperasi perusahaan, lebih baik sertifikat itu saya rajang buat sayur. Karuan saya tahu bahwa sertifikat saya hilang karena saya sayur. Sebuah ungkapan kejengkelan yang “mloro ati” (aksi bakar diri) yang dilakukan wong cilik.

7.2. “Saya ini telah mengalami tiga zaman, termasuk penjajahan Jepang. Tapi kondisi saya sekarang bersama warga, melebih penjajahan Jepang yang memeras warganya sendiri”.

7.3. “Usia saya sudah 65, jika tuntutan saya nanti tidak terpenuhi, maka minimal saya harus membunuh satu diantara mereka. Toh untuk apa saya hidup seperti ini mending mati dipenjara”.

7.4. “apa tidak ada satrio yang bisa menolong kami ini pak ? tolonglah kami sangat membutuhkan pertolongan ! Karena sudah berulang diadakan rapat, tapi ya sangat tidak ada kejelasan dan hanya disuruh sabar”.

8. Diantara tuntutan warga itu adalah :
8.1. Karena untuk penanaman sawit dilahan warga ini tidak memakai sistem perjanjian atau musyawarah yang transparan, tahu-tahu diberi tahu bahwa ada penggusuran lahan untuk ditanami sawit oleh pemerintah dan nanti hasilnya diberikan kepada warga pemilik tanah, maka semua warga membiarkan tanahnya digarap perusahaan itu. Karena itu berikan janji itu secara transparan dan jujur.

8.2. Setelah sekarang sawit mulai produksi, tiba-tiba para warga dikumpulkan diminta untuk menyerahkan sertifikat tanah dengan penjelasan seperti diatas. Dalam hal ini warga merasa sangat ditipu paksa. Karenanya warga minta, jika kami dianggap berhutang karena sekarang ada tanaman sawitnya, maka berapa besar hutang itu dan warga siap membayarnya.

8.3. Bagaimanapun, warga tidak harus menyerahkan sertifikatnya dalam kondisi seperti diatas. Karena jika memang kerjasama, kenapa tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu, dan terus warga sudah menggaransikan tanahnya yang sekarang telah ditanami sawit dan tidak bisa berfungsi apapun. Bahkan saat penggusuran, diantara warga yang ada tanaman jati tanamannya sudah berumur, digusur tanpa ganti rugi.

8.4. Karena itu, warga meski tidak menyerahkan sertifikat, tetaplah memiliki hak untuk pengembalian tanah dan aset sawitnya sesuai kewajiban yang diberikan selama 10 tahun itu 100% menjadi hak milik pemilik tanah.

Dengan informasi ini, saya berharap semua pihak yang memiliki kewenangan dan kapasitas kepedulian, untuk memberikan bantuan mediasi dan solusi agar peristiwa “Mesuji” berdarah Lampung tidak terulang lagi ditempat lain di bumi pertiwi. Karena bagaimanapun juga, baik korban aparat maupun warga, tidaklah ada manfaat dan tidak ada baiknya. Akan lebih terhormat dan memartabatkan, jika solusi yang memakmurkan semua pihak tanpa adanya kekerasan.

Kalaupun toh sampai tidak terjadi kekerasan fisik, namun kekerasan psikologis dan kekerasan moral yang dilakukan oleh pemodal besar dan penguasa negeri ini, sebenarnya kepada Mbah Nyong yang nenek tua renta itu, dan warga Desa Lebak Mantan Kec.Kota Bangun Kab.Kutai Kertanegara Kaltim itu, telah, sedang, dan terus terjadi sampai hari ini.

Sedulur bangsa Indonesia, hentikan atas kekerasan dan penindasan antar warga untuk damai bahagia bersama berkat Rahmat Allah Tuhan Yang Maha Esa, disetiap jengkal bumi Indonesia.

Lebak Mantan Kota Bangun Kutai Kertanegara Kalimantan Timur, 24 Desember 2011.

Salam Indonesia merdeka ! Bismillah